Identifikasi Semut Sebagai Langkah Awal Pengelolaan Yang Tepat

Pengenalan atau Identifikasi spesies semut dengan benar merupakan langkah awal dalam menentukan pendekatan dalam pengelolaan koloni semut di lapangan. Menilik kasus penolakan biji kopi asal Lampung oleh Pemerintah Jepang akibat adanya pencemaran residu Isoprocarb ditengarai karena adanya kehadiran populasi semut yang mengganggu pada saat panen buah kopi, sehingga memicu petani “mengusirnya” dengan insektisida kimiawi menjelang panen. Dengan demikian perlu adanya kehati-hatian dalam pengelolaan semut ini, jangan sampai salah langkah, karena kehadiran semut pada ekosistem pertanian memiliki peranan yang kompleks. Semut memiliki fungsi ekologis dalam membantu tanaman menyebarkan benih (biji) untuk penyerbukan, menggemburkan tanah pertanian melalui pergerakannya di dalam tanah, menjadi predator bagi hama tanaman, dan aktivitas ekologis lain, termasuk sebagai simbion kutu daun (Falahudin, 2013).

Gambar 1. Semut api fase dewasa prajurit

Semut merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Hymenoptera dan family Formicidae yang memiliki kurang lebih 12000 spesies (Romarta et al., 2020). Habitat semut merupakan habitat yang sangat luas mencakup seluruh habitat terrestrial (daratan) dari daerah pegunungan hingga pesisir (Falahudin, 2013). Perubahan serta gangguan habitat mampu mengubah komposisi spesies semut yang ada sehingga berpengaruh terhadap perubahan interaksi tropik dan jaring-jaring makanan yang ada pada ekosistem tersebut (Romarta et al. 2020). Setiap jenis memiliki peranan masing-masing di ekosistem berdasarkan dari kebiasaan dan sumber makanannya yang sangat beragam (Borror et al., 1996). Rossi  & Fowler (2002) menginformasikan bahwa semut api (Solenopsis sp.) di Brazil dapat dimanfaatkan sebagai agen pengontrol kepadatan larva penggerek batang tebu (Diatraea saccharalis). Selanjutnya, Depparaba & Mamesah (2005) menyatakan bahwa populasi dan serangan pengerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dapat dikurangi dengan kehadiran semut hitam (Dolichoderus sp.). Di Indonesia, spesies yang sama juga membantu menghalau serangan Helopeltis sp. pada buah kakao.

Pada ekosistem perkebunan karet, semut yang banyak ditemukan dari jenis Camponotus sp karena semut ini lebih suka bersarang pada kanopi pohon, batang pohon tua yang mulai lapuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pierre & Idris (2013) bahwa Individu semut dari genus Odontomachus, Solenopsis, Polyrachis, Camponotus dan Oecopylla jarang ditemukan di permukaan tanah untuk beraktivitas karena kebiasaanya yang bersarang pada kanopi pohon. Menurut Suriana (2017) bahwa Camponotus sp. merupakan semut berukuran kecil, menempati atau bersarang pada batang yang telah tua dan kulitnya mulai mengelupas. Semut tersebut memanfaatkan remah-remah sebagai sumber makanannya. Selain itu semut ini juga dapat memakan serangga lain yang telah mati. Beberapa penelitian menjelaskan peran semut sebagai predator, sehingga berpotensi dimanfaatkan sebagai pengendali hama tanaman.

Tabel 1. Keanekaramanan semut dan peranannya (Haneda & Yuniar,2020)

Berdasarkan pengamatan Haneda & Yuniar (2020) pada empat ekosistem yaitu hutan karet, kebun karet, hutan sekunder, dan perkebunan kelapa sawit yang terletak di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi menemukan 15 genus yang berpotensi sebagai predator, di antaranya adalah genus Amblyopone, Centromyrmex, Colobostruma, Rhopalothryx, Diacamma, Echinopla, Emeryopone, Heteroponera, Odontomachus, Solenopsis, Dolichoderus, Pheidole dan sebagainya (Tabel 1). Penelitian yang dilakukan oleh Riyanto (2007) menunjukkan bahwa Solenopsis sp. dapat menguraikan bahan organik dari hewan dan tumbuhan, simbiosis dengan kutu daun, serta sebagai predator pada yang lebih lemah, demikian pula Dolichoderus sp. dan Ponera sp.

Terkait populasi semut yang diduga mendominasi kebun kopi yang dilaporkan mengganggu petani saat panen diduga merupakan jenis semut api (Solenopsis sp.), karena dilaporkan memiliki gigitan yang menyakitkan seperti api dan menyebabkan pembengkakan pada bagian tubuh yang digigit karena adanya asam format yang diproduksi oleh kantung racun. Ciri khas kehadiran koloni semut ini yaitu adanya gundukan pasir yang dibentuk sebagai sarang. Selain menyengat, semut api juga sangat agresif, terlebih jika merasa mendapat gangguan dari luar, ratusan pekerja semut api akan berkerumun keluar dari gundukan berlari ke permukaan vertikal untuk menyengat.

Gambar 2. Gundukan sarang semut pada kebun kopi (kiri), dan keberadaan koloni semut yang dapat merusak perakaran kopi (kanan) di Jawa Barat

Berdasarkan Jackman et al. (2005), semut api terdiri dari semut api merah (Solenopsis invicta Buren) atau disebut dengan Red Import Fire Ant / RIFA), semut api hitam (Solenopsis richteri Forel) atau disebut dengan Black Import Fire Ant / BIFA), dengan karakteristik morfologi 10 (sepuluh) segmen antena, dengan klub dua segmen dan pinggang dua segmen (Gambar 3). RIFA memiliki gaster gelap dan seluruh tubuhnya berwarna merah terang. BIFA lebih gelap di ujungnya dan memiliki tambalan emas di bagian atas gaster yang ditentukan oleh garis gelap yang berbeda. Koloni rata-rata berisi 100.000 hingga 500.000 pekerja dan ratu bersayap. Ratu semut dapat hidup selama 7 tahun bahkan lebih, sedangkan semut pekerja umumnya hidup sekitar 5 minggu.

Gambar 3. Morfologi tahap kehidupan semut api (Jackman et al. 2005)

Dari beberapa kajian literatur diperoleh pendugaan sementara semut yang menyerang kebun kopi yaitu semut api, sehingga perlakuan menyemprot semut pada ranting saat panen kurang efektif karena semut pekerja yang berada di luar sarang hanya <20% dari populasi, koloni semut yang harus dikelola berada di sarang gundukan. Untuk mendapatkan penanganan yang tepat, maka diperlukan kajian lebih lanjut dan konfirmasi secara rinci terkait spesies semut tersebut baik secara morfologis, serologis, maupun genetika.

Penulis: Farriza Diyasti, dan Yani Maryani

Sumber Pustaka:

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. (1996). Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi ke-6. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajahmada Univ Pr. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect.

Depparaba F dan Memesah D. (2005). Populasi dan serangan penggerek daun (Phyllocnistis citrella Staint) pada tanaman jeruk dan alternatif pengendaliannya. Jurnal Peng-kajian dan Pengembangan Teknologi Per-tanian 8 (1): 88-93.

Falahudin, Irham. (2013). “Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit” Conference Proceedings, 2604 – 2618

Jackman, A. Collins, H. Kopper-Bui, LM. (2005). Managing Fire Ants in Urban Area.  The University of Tennessee.

Pierre EM, Idris AHJ. (2013). Studies on the Predatory Activities of Oecophylla smaragdina (Hymenoptera: Formicidae) on Pteroma pendula (Lepidoptera: Psychidae) in Oil Palm Plantations in Teluk Intan, Perak (Malaysia). Journal Asian Myrmecology 5: 163– 176.

tinggal. Jurnal Penelitian Sains 10(2): 241-253.

Romarta, R., Yaherwandi, S. Efendi. (2020). “Keanekaragaman Semut Musuh Alami (Hymenoptera: Formicidae) pada Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Kecamatan Timpeh Kabupaten Dharmarasya” Jurnal Agrikultura, 31(1): 42 – 51.

Rossi MN, Fowler HG. (2002). Manifulation of fire ant density, Solenopsis spp. For short-term reduction of Diatraea saccharalis larva densities in Brazil. Scientia Agricola 59(2): 389-392.

Suriana. (2017). Deksripsi morfologi dan status taksonomi semut dari komunitas mangrove di Pulau Hoga kawasan Taman Nasional Wakatobi. Biowallacea 4(2): 602-610.

SUMBER

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*